Membaca 2 (dua) kali berita Media Online RMOL Lampung yang memuat berita dengan judul—yang bisa dibaca seolah—Pengadilan Negeri Tanjungkarang lakukan pungutan liar.
Mulai dari seorang pengacara yang protes sampai Dosen Yusdianto yang muda, tampan dan berbahaya itu—dan kebetulan juga saya pernah ikut kuliahnya yang mencerahkan di Fakultas Hukum Universitas Lampung—ikut komentar. Meski khusus komentar dosen bergelar Doktor HTN saya bela tidak salah. Karena beliau hanya dimintai pendapat sebatas keilmuannya—meskipun seringnya komentarnya selalu berangkat dari informasi sebelah pihak, misalnya dari wartawan.
“Bang sudah baca berita belum?”
“Berita apa?”
“Pungutan liar di Pengadilan!”
“Belum, emang kenapa?”
Ngocehlah wartawan berdasar info yang diberi sebelah pihak saja yakni dari Lawyer. Lalu dosen selaku narsum tentu bukan tugasnya menggali-gali kebenaran Lawyer itu. Maka Dosen Yusdianto menjawab normatif saja berangkat dari pertanyaan wartawan.
Media kadang sesuka hati atau halusnya kadang berdasar galian info yang kurang dalam, kering data dan sadisnya lansung membuat frame pemberitaan yang bisa saja misleading apalagi jika nilai berita itu kandungannya polemik. Tema Pengadilan Pungli (ngeriiii) adalah tema seksi. Apalagi jika pihak PN tidak cepat lakukan klarifikasi, bisa beritanya berseri-seri.
Saya juga bisa membuat judulnya makin menarik jika tema itu mau dibuat berseri. Misalnya: (1) Sudah 76 Tahun Merdeka Kok Bisa PN Pungli ? , (2) Pungli di PN Masih Terjadi, Kok MA diam? atau lebih bombastis lagi (3) Presiden Jokowi, tolong datang kesini di Pengadilan Negeri ada Pungli!. Kalau mau yang lebih sadis lagi saya masih punya banyak koleksi, silakan pesan dengan saya kebetulan saya hanya anak magang—kurang kerjaan.
Seringnya prinsip cover bothside yang jadi kode etik wartawan dan media dalam membuat berita masih perlu diperjuangkan oleh salah satu pihak dalam kisah pemberitaan tersebut. Maka cover bothside dalam fenomena ini harus direbut sendiri oleh pihak yang kadang merasa tidak cukup adil pada isi pemberitaan. Dalam hal ini PN Tanjungkarang yang dalam (setidaknya) 2 kali saya baca pemberitaan isinya memberi kesan PN Tanjungkarang ditengarai sebagai tersangka. Bedil pena mengarah padanya.
Kalau zaman saya mahasiswi kemarin sealu diminta jadi tukang produksi propaganda di kampus. Dari membuat propaganda selebaran, buletin, radio, demo, telivisi, hingga kompor-kompori wartawan melawan polisi dan militer. Sehingga ketika aksi mahasiswi direpresi polisi dan militer dengan keras, dulu kami berharap dan senang jika wartawan ikut kena represi. Sehingga aksi mahasiswi mendapat porsi sensasi. Ngeri.
Frame berita sudah bisa diciptakan sejak awal dengan perencanaan yang matang, agar mengguncang. Kebetulan saya belajar dari bacaan buku-buku Paul Joseph Goebbels, ahli propaganda Nazi.
Tapi sesungguhnya ini sekadar urusan gugatan sederhana yang sudah dimenangkan penggugat. Kita tidak perlu merujuk pada teori putar balik fakta Goebbels. Urusannya sekadar soal eksekusi saja. Kebetulan sebagai anak magang—di Pengadilan Negeri Tanjungkarang—saya mencuri dengar ketika bapak-bapak hakim dan panitera itu berdiskusi membahas berita tersebut.
Saya percaya mereka, tidak mungkin menjual harga diri dengan nilai uang sekonyol itu. Ini masalahnya hanya tinggal bayar panjar biaya eksekusi saja. Jika pengadilan menetapkan Rp 2 juta, maka pemohon membayarnya dengan rincian yang jelas dan akuntable. Biaya panjar eksekusi bahkan bisa dikembalikan jika memang dalam perhitungan lapangan biaya yang dipakai hanya biaya panggilan satu kali juru sita—misalnya hanya sebesar 150 ribu saja. Dalam hal itu, pemohon mendapat pengembalian 1.850.000.
Hari gini, transparansi dan akuntabilitas keuangan di setiap instansi apalagi di Pengadilan dijunjung tinggi. BPK setiap trisemester melakukan telaah. Bahkan sisa duit 50rb di brankas pengadilan jika itu sisa uang salah-satu pihak, maka harus dikembalikan. PN Tanjungkarang selalu mengembalikan. Ini bukan bantahan, ini pembelaan. Hari gini kok masih ada pengacara tidak mengerti prosedur eksekusi.
Masalahnya kenapa klaimnya tentang putusan yang sudah dimenangkan penggugat belum sepenuhnya haknya didapat harus bayar?
Ya karena putusan incracht alias Berkekuatan Hukum Tetap (BHT) itu harus dilaksanakan dalam hukum acara keperdataan melalui mekanisme permohonan eksekusi. Mosok pengacara tidak paham tahapan eksekusi, mbokya dibaca pasal-pasal dalam HIR/Rbg itu lho. Penggugat yang bermohon eksekusi itu karena putusannya tidak sukarela dijalankan oleh tergugat yang dikalahkan. Saya anak magang saja paham. Maka pengadilan yang menerima permohonan eksekusi mencatat permohonan dengan meregister dalam buku eksekusi yang disediakan dan mencatat biaya panjar untuk itu.
Pengadilan Negeri memproses setelah pemohon membayar biaya panjar. Panjar itu artinya bisa lebih bahkan bisa kurang. Kalau kurang ditagih lagi, tapi jika lebih dikembalikan.
Bagaimana menentukan ongkos panjar? Silakan tanya detailnya ke Pengadilan Negeri Tanjungkarang jika mesin pencari google tidak dapat kamu andalkan dalam mencari jawaban. Ada logika masuk akal hitungannya panjar biaya di pengadilan itu yakni berdasarkan jarak kilometer alamat termohon, biaya ongkos kendaraan dan detail lainnya. Saran: tanyakan dengan hati bersih tidak mencurigai.
Lalu setelah dibayar, misalnya Rp 2 juta maka berdasarkan penetapan Aanmaning (teguran) yang dibuat Ketua PN yang isinya memerintahkan Panitera Pengadilan Negeri untuk memberikan perintahkan kepada Juru Sita melakukan panggilan kepada termohon agar datang ke pengadilan negeri untuk ditegur.
Kira-kira begini ilustrasi dalam sidang Aanmaning. Ketua PN bilang : “Dul, balikin itu BPKB, karena dalam putusan kamu sebagai perusahaan leasing dikalahkan.”
Bedul sebagai termohon melawan : “Pak saya ini orang Lampung, pemohon eksekusi masih ada sisa tunggakan. Saya gak peduli dia menang di putusan hakim, saya tetap tidak mau serahkan, mau apa elu!?”
Lalu ditenangkan oleh Ketua PN dan termohon disuruh pulang untuk berpikir jernih. Kemudian dua minggu berlalu, dipanggil oleh juru sita lagi ke pengadilan negeri. Ditanya lagi sama Ketua PN : “Dul gimana, kamu serahkan gak BPKBnya?”
“Saya pagas kalau ada pihak Pengadilan apalagi Pemohon mau ambil BPKB itu!”.
Nah agak repot rupanya ini, cuman Ketua Pengadilan Negeri agak ngeri. Karena Bedul adalah manajer Leasing yang kebetulan mantan Preman kelas bulu di Pasar Smep Tanjungkarang dan orang tahu Bedul ini adalah kawan seangkatan Mat Soleh dan Jon Golok—yang kebal sajam dan peluru dulu terkenal di era 80-an. Maka wajar bila negosiasi makin alot dalam Aanmaning kedua ini.
Lalu pemohon bilang: “Pak Ketua, pokoknya saya mau BPKB saya kembali sesuai bunyi putusan hakim!”
Ketua Pengadilan Negeri menyampaikan: Ya kalau termohon tidak mau serahkan sukarela maka harus laksanakan eksekusi dengan bantuan pengamanan kepolisian untuk mengawal juru sita pengadilan dilapangan. Melibatkan pihak pengamanan dari kepolisian bisa jadi nanti ada biayanya tapi bisa juga tidak ada biayanya silakan negosiasi sendiri tapi beri kesempatan PN laksanakan rapat koordinasi dengan pihak kepolisian . Tentu jika nanti ada biaya pelaksanaan di lapangan silakan pemohon nanti tanyakan ke pihak kepolisian, jika ada. Jangan suuzon dulu geh. Tapi dalam eksekusi dengan bantuan pengamanan kepolisian biasanya ada bayar kira-kira berapa?
Malas menjawab Ketua PN bilang urusan begitu bukan urusan saya, coba kamu tanya panitera. Lalu pemohon ke Panitera dan panitera normatif sesuai pengalaman menjawab. “Dalam pelaksanaan eksekusi riil perkara perdata umumnya biasanyan pemohon memberi bantuan logistik sukarela dan tidak dipaksa ke petugas di lapangan, berupa makan siang misalnya dan angkanya variatif bisa Rp 5 juta hingga Rp 7,5 juta bergantung jumlah aparat yang diturunkan dalam mengosongkan lahan ribuan meter, misalnya.”
Tapi ilustrasi kalimat panitera yang menjelaskan ini jangan ditafsirkan meminta duit 7,5 juta loh. Jangan suuzon geh.
Ilustrasi di atas adalah kisah pemohon yang sudah ajukan permohonan eksekusi dan sudah membayar biaya panjar eksekusi. Tapi yang saya dengar di PN Tanjungkarang dari mencuri dengar bapak-bapak hakim dan Panitera itu saat diksusi, masalahnya pemohon belum bayar panjar eksekusi ke Pengadilan Negeri. Lalu pemohon ngadu ke wartawan bilang ada pungli.
How comes?
Ya bagaimana permohonannya diregister kalau belum bayar panjar biaya eksekusi lalu menuduh pihak PN pungli?
Ada banyak putusan di PN seluruh Indonesia yang memang belum dilaksanakan karena belum ada permohonan permintaan eksekusi loh karena beberapa alasan. Tapi Pengadilan Negeri sudah jauh hari menjalankan tekad untuk transparan, akuntable dan profesional. Beneran saya lihat dan dengar sendiri dari bapak-bapak hakim dan panitera di PN Tanjungkarang saat saya mencuri dengar dari mereka saat berdiskusi tentang ini. Mbokya jangan suuzon. Ini (sebenarnya) mau berpolemik yang tidak esensi atau mau mendapatkan hak melalui pelaksanaan eksekusi?
Penulis : Rizki Amelia Gadot (Mantan Mahasiswi, Anak Magang)
(Isi tulisan penulis menjadi tanggung jawab penulis sendiri dan bukan media online yang menerbitkan)
Repost From www.petitum.id
Link :